SEJARAH DAN METODE PENULISAN
KITAB SIRAH AL-NABAWI
Oleh:
Oleh:
Assoc. Prof. Dr. Drs. KH. Mujar Ibnu Syarif, SH, MA.
(Presiden Direktur Pondok Pesantren
Darussiyasah)
(Presiden Direktur Pondok Pesantren
Darussiyasah)
SEJARAH PENULISAN
KITAB SIRAH
Secara kronologis atau dilihat dari urutan
waktu (al-tartib al-zamani), penulisan sirah Nabi berada pada urutan ketiga
setelah penulisan al-Qur’an dan al-Sunnah atau hadis Nabi. Pada periode pertama,
tokoh utama yang memiliki perhatian yang besar terhadap penulisan Sirah Nabi adalah Urwah bin Zubair
(wafat 92 H). Kemudian diikuti oleh Abban bin Utsman (wafat 105 H),
Wahab bin Munabbih (wafat 110 H), Syurahbil bin Sa’d (wafat 122 H), dan Ibn
Syihab al-Zuhri (wafat 124 H). Sayangnya, hasil karya mereka telah hilang
ditelan zaman. Sehingga tidak ada satu pun di antaranya yang bisa sampai ke
tangan kita, kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan oleh Imam
al-Thabari. Ada yang mengatakan bahwa sebagian tulisan Wahab bin Munabbih
sampai sekarang masih tersimpan di Heidelberg, Jerman.
Selanjutnya, di masa generasi kedua,
tokoh utama yang menulis kitab sirah adalah Muhammad bin Ishaq (wafat 152 H). Menurut
Ibnu Sayyidinnas dalam mukaddimah Kitab Uyun
al-Atsr ‘an Ibni Ishaq wa Tarjamatih, para ulama sepakat, kitab yang
ditulis Muhammad bin Ishaq merupakan kitab yang paling terpercaya yang pernah
ditulis tentang Sirah Nabi pada masa itu (autsaqu mâ kutiba fî al-sîrah al-nabawiyyah fi dzalik al-‘ahd). Tetapi sangat disayangkan, kitab
al-Maghazi yang ditulisnya, termasuk kitab yang musnah pada masa itu. Sehingga
kitab ini pun tidak dapat sampai ke tangan kita. Untungnya, setelah lebih dari lima
puluh tahun berikutnya, data yang pernah ditulis Ibnu Hisyam dalam kitab
al-Maghazi, dicantumkan ulang dalam bentuk yang lebih sempurna dalam kitab
Sirah Ibnu Hisyam yang ditulis Abu Muhammad Abdul Malik, yang popular dengan
nama Ibnu Hisyam. Sehubungan dengan hal ini, Ibnu Khalkan menyatakan:
وابن
هشام هذا هو الذي جمع سيرة رسول الله صلى الله عليه وسلم من المغازي والسير لابن
إسحاق وهذبها ولخصها وهي السيرة الموجودة
بأيدي الناس والمعروفة بسيرة ابن هشام.
“Ibnu Hisyam ini adalah penulis yang menghimpun Sirah Rasulullah saw dengan cara
menyempurnakan dan meringkas data yang termaktub dalam kitab al-Maghazi dan
al-Siyar, buah karya Ibnu Isyhaq. Kitab ini adalah kitab sirah yang dapat
sampai ke tangan para pembaca, yang popular dengan nama Sirah Ibnu Hisyam.”
METODE PENULISAN KITAB
SIRAH
Ada dua metode penulisan kitab-kitab
sirah. Pertama, metode tematik (al-manhaj
al-maudhu’i). Para pengarang kitab sirah yang menggunakan metode ini disebut sebagai penganut mazhab maudhu’i.
Ciri khusus metode ini adalah, keseluruhan sejarah Nabi, sejak beliau dilahirkan
hingga wafat, disampaikan apa adanya. Tanpa adanya unsur manipulasi atau
penafsiran yang didasarkan pada subyektifitas penulisnya. Karena hal yang disebut
terakhir ini dipandang sebagai pengkhianatan yang tidak dapat diampuni (min
al-khiyanah allati la tughfar). Selain itu, dalam kitab-kitab sirah yang
mengambil corak ini, turut pula dicantumkan di dalamnya sirah Nabi yang berisi mu’jizat
atau kemampuan luar biasa yang diberikan Allah swt kepada Nabi. Sehingga beliau
mampu melakukan hal-hal luar biasa yang bertentangan dengan adat (khawâriq
al-‘âdah) atau kebiasaan yang umumnya berlaku di tengah kehidupan manusia.
Kedua, metode ilmiyyah (al-manhaj
al-‘ilmi). Para penulis kitab sirah yang menggunakan metode ini disebut sebagai penganut mazhab ‘ilmi.
Ciri distinctive metode ini adalah, ada kemungkinan, sejarah Nabi yang ditampilkan, sudah
mengalami manipulasi atau sudah mengandung penafsiran yang didasarkan pada
subyektifitas atau kecenderungan pribadi penulisnya. Selain itu, dalam kitab-kitab
sirah yang menggunakan metode kedua ini, tidak dicantumkan di dalamnya sirah
Nabi yang berisi mu’jizat yang diberikan Allah swt kepada Nabi sebagai bukti kerasulannya.
Metode ‘ilmi untuk pertama kalinya, mulai digunakan pada abad kesembilan
belas. Di Mesir, metode ini mulai digunakan pada saat negara ini berada di
bawah penjajahan Inggris. Pada masa ini, sesungguhnya Mesir sedang berada pada
puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Termasuk dalam disiplin ilmu-ilmu keislaman. Sehingga,
boleh dikata, kala itu Mesir merupakan kiblat bagi mereka yang ingin mendalami ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi, kolonialis Inggris yang memerintah dengan tangan
besi, telah memaksa para tokoh pemikir Mesir untuk menafsirkan Islam sesuai
dengan perspektif kaum kolonialis Inggris yang beragama Nasrani.
Salah satu
akibatnya adalah, ajaran Islam yang berisi tentang hal-hal yang ghaib (al-ghaybiyyat),
semisal tentang adanya Surga dan Neraka di akhirat nanti, dipandang tidak perlu
lagi dibahas dalam karya-karya tentang pemikiran keislaman. Sebab hal ini
dipandang sebagai sesuatu yang irasional dan kontradiktif dengan
parameter sains modern (maqayis al-ilm al-hadits) yang dibangun
berdasarkan filsafat materialisme. Contoh kitab sirah yang bercorak
seperti ini adalah kitab Hayah Muhammad, buah karya Husain Haykal. Dalam
Mukaddimah buku ini, dengan sangat bangga, Haykal menyatakan sebagai berikut:
إنني لم آخذ بما سجلته كتب السيرة والحديث لأنني
فضلت أن أجري في هذا البحث على الطريق العلمية.
“Sesungguhnya Aku tidak mengambil hal-hal yang termaktub dalam kitab-kitab sirah dan kitab-kitab hadis. Sebab dalam pembahasan ini Aku lebih mengutamakan metode ilmiah.”
Contoh lainnya adalah beberapa buah artikel yang ditulis Muhammad
Farid Wajdi, yang dipublikasikan secara bersambung dalam Majalah Nur
al-Islam dalam tajuk al-Sirah al-Muhammadiyyah tahta Dhaw’i al-‘Ilm wa
al-Falsafah (Sirah Muhammad dalam Perspektif Ilmu dan Filsafat).
Kalau pun hal-hal yang bertalian dengan mu’jizat Nabi Muhammad saw disinggung
dalam kitab-kitab sirah yang bercorak ilmiah, maka biasanya substansinya
ditafsirkan sesuai dengan perspektif dan subyektifitas pengarangnya. Misalnya, thayran
ababil yang termaktub dalam ayat 3 Surah al-Fil, ditafsirkan dengan penyakit cacar atau campak (dâ’ al-judari). Contoh lainnya, perjalanan Isra Mi’raj Nabi dari
Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha hingga naik ke Sidratul Muntaha di langit
ketujuh, ditafsirkan sebagai perjalanan yang bukan dilakukan dengan jasad, tapi
hanya dengan ruh Nabi dan peristiwanya pun tidak terjadi di alam nyata, tapi
hanya berlaku di alam mimpi.
Contoh lainnya, adalah pendapat yang
menyatakan, kerasulan Muhammad, keimanan para sahabat kepada Nabi, dan penaklukan
wilayah non-Islam yang terjadi dalam
sejarah Islam, tidak lebih hanya sekedar pemberontakan kaum kiri terhadap kaum
kanan atau kaum proletar terhadap kaum borjuis, yang motif utamanya semata-mata
demi meraih keuntungan ekonomi atau dalam rangka mencari rizki dan tingkat kehidupan duniawi yang lebih sejahtera.
--------oooOOOooo--------
Tulisan
ini disarikan dari materi Kajian Rutin Bulanan
Sirah Nabi setiap ba’da Shubuh di Masjid al-Ghifari, Pakujaya Serpong Utara Kota Tangerang Selatan yang diampu
Sirah Nabi setiap ba’da Shubuh di Masjid al-Ghifari, Pakujaya Serpong Utara Kota Tangerang Selatan yang diampu
Assoc. Prof. Dr., Drs., KH. Mujar Ibnu Syarif, SH, MA.
Materi studi Sirah Nabi dimaksud disampaikan pada hari Ahad,
28 Juni 2020. Pukul
05-07.30 pagi.