Saturday, June 27, 2020

SERI 1 STUDI SIRAH NABI


SEJARAH DAN METODE PENULISAN
 KITAB SIRAH AL-NABAWI

Oleh:

              Assoc. Prof. Dr. Drs. KH. Mujar Ibnu Syarif, SH, MA.

                       (Presiden Direktur Pondok Pesantren 
                                                Darussiyasah)
                             


SEJARAH PENULISAN KITAB SIRAH
           
Secara kronologis atau dilihat dari urutan waktu (al-tartib al-zamani), penulisan sirah Nabi berada pada urutan ketiga setelah penulisan al-Qur’an dan al-Sunnah atau hadis Nabi. Pada periode pertama, tokoh utama yang memiliki perhatian yang besar terhadap penulisan Sirah Nabi  adalah Urwah bin Zubair  (wafat 92 H). Kemudian diikuti oleh Abban bin Utsman (wafat 105 H), Wahab bin Munabbih (wafat 110 H), Syurahbil bin Sa’d (wafat 122 H), dan Ibn Syihab al-Zuhri (wafat 124 H). Sayangnya, hasil karya mereka telah hilang ditelan zaman. Sehingga tidak ada satu pun di antaranya yang bisa sampai ke tangan kita, kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan oleh Imam al-Thabari. Ada yang mengatakan bahwa sebagian tulisan Wahab bin Munabbih sampai sekarang masih tersimpan di Heidelberg, Jerman.
            Selanjutnya, di masa generasi kedua, tokoh utama yang menulis kitab sirah adalah Muhammad bin Ishaq (wafat 152 H). Menurut Ibnu Sayyidinnas dalam mukaddimah Kitab  Uyun al-Atsr ‘an Ibni Ishaq wa Tarjamatih, para ulama sepakat, kitab yang ditulis Muhammad bin Ishaq merupakan kitab yang paling terpercaya yang pernah ditulis tentang Sirah Nabi pada masa itu (autsaqu mâ kutiba fî al-sîrah al-nabawiyyah fi dzalik al-‘ahd). Tetapi sangat disayangkan, kitab al-Maghazi yang ditulisnya, termasuk kitab yang musnah pada masa itu. Sehingga kitab ini pun tidak dapat sampai ke tangan kita. Untungnya, setelah lebih dari lima puluh tahun berikutnya, data yang pernah ditulis Ibnu Hisyam dalam kitab al-Maghazi, dicantumkan ulang dalam bentuk yang lebih sempurna dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam yang ditulis Abu Muhammad Abdul Malik, yang popular dengan nama Ibnu Hisyam. Sehubungan dengan hal ini, Ibnu Khalkan menyatakan:

وابن هشام هذا هو الذي جمع سيرة رسول الله صلى الله عليه وسلم من المغازي والسير لابن إسحاق  وهذبها ولخصها وهي السيرة الموجودة بأيدي الناس والمعروفة بسيرة ابن هشام.

 “Ibnu Hisyam ini adalah penulis yang  menghimpun Sirah Rasulullah saw dengan cara menyempurnakan dan meringkas data yang termaktub dalam kitab al-Maghazi dan al-Siyar, buah karya Ibnu Isyhaq. Kitab ini adalah kitab sirah yang dapat sampai ke tangan para pembaca, yang popular dengan nama Sirah Ibnu Hisyam.”

METODE PENULISAN KITAB SIRAH

            Ada dua metode penulisan kitab-kitab sirah.  Pertama, metode tematik (al-manhaj al-maudhu’i). Para pengarang kitab sirah yang menggunakan metode  ini disebut sebagai penganut mazhab maudhu’i. Ciri khusus metode ini adalah, keseluruhan sejarah Nabi, sejak beliau dilahirkan hingga wafat, disampaikan apa adanya. Tanpa adanya unsur manipulasi atau penafsiran yang didasarkan pada subyektifitas penulisnya. Karena hal yang disebut terakhir ini dipandang sebagai pengkhianatan yang tidak dapat diampuni (min al-khiyanah allati la tughfar). Selain itu, dalam kitab-kitab sirah yang mengambil corak ini, turut pula dicantumkan di dalamnya sirah Nabi yang berisi mu’jizat atau kemampuan luar biasa yang diberikan Allah swt kepada Nabi. Sehingga beliau mampu melakukan hal-hal luar biasa yang bertentangan dengan adat (khawâriq al-‘âdah) atau kebiasaan yang umumnya berlaku di tengah kehidupan manusia.
            Kedua, metode ilmiyyah (al-manhaj al-‘ilmi). Para penulis kitab sirah yang menggunakan metode  ini disebut sebagai penganut mazhab ‘ilmi. Ciri distinctive metode ini adalah, ada kemungkinan, sejarah Nabi yang ditampilkan, sudah mengalami manipulasi atau sudah mengandung penafsiran yang didasarkan pada subyektifitas atau kecenderungan pribadi penulisnya. Selain itu, dalam kitab-kitab sirah yang menggunakan metode kedua ini, tidak dicantumkan di dalamnya sirah Nabi yang berisi mu’jizat yang diberikan Allah swt kepada Nabi sebagai bukti kerasulannya. Metode ‘ilmi untuk pertama kalinya, mulai digunakan pada abad kesembilan belas. Di Mesir, metode ini mulai digunakan pada saat negara ini berada di bawah penjajahan Inggris. Pada masa ini, sesungguhnya Mesir sedang berada pada puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Termasuk dalam disiplin ilmu-ilmu keislaman. Sehingga, boleh dikata, kala itu Mesir merupakan kiblat bagi mereka yang ingin  mendalami ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi, kolonialis Inggris yang memerintah dengan tangan besi, telah memaksa para tokoh pemikir Mesir untuk menafsirkan Islam sesuai dengan perspektif kaum kolonialis Inggris yang beragama Nasrani. 
Salah satu akibatnya adalah, ajaran Islam yang berisi tentang hal-hal yang ghaib (al-ghaybiyyat), semisal tentang adanya Surga dan Neraka di akhirat nanti, dipandang tidak perlu lagi dibahas dalam karya-karya tentang pemikiran keislaman. Sebab hal ini dipandang sebagai sesuatu yang irasional dan kontradiktif dengan parameter sains modern (maqayis al-ilm al-hadits) yang dibangun berdasarkan filsafat materialisme. Contoh kitab sirah yang bercorak seperti ini adalah kitab Hayah Muhammad, buah karya Husain Haykal. Dalam Mukaddimah buku ini, dengan sangat bangga, Haykal menyatakan sebagai berikut:


إنني لم آخذ بما سجلته كتب السيرة والحديث لأنني فضلت أن أجري في هذا البحث على الطريق العلمية.

“Sesungguhnya Aku tidak mengambil hal-hal yang termaktub dalam kitab-kitab sirah dan kitab-kitab hadis. Sebab dalam pembahasan ini Aku lebih mengutamakan metode ilmiah.”

Contoh lainnya adalah beberapa buah artikel yang ditulis Muhammad Farid Wajdi, yang dipublikasikan secara bersambung dalam Majalah Nur al-Islam dalam tajuk al-Sirah al-Muhammadiyyah tahta Dhaw’i al-‘Ilm wa al-Falsafah (Sirah Muhammad dalam Perspektif Ilmu dan Filsafat).
            Kalau pun hal-hal yang  bertalian dengan mu’jizat Nabi Muhammad saw disinggung dalam kitab-kitab sirah yang bercorak ilmiah, maka biasanya substansinya ditafsirkan sesuai dengan perspektif dan subyektifitas pengarangnya. Misalnya, thayran ababil yang termaktub dalam ayat 3 Surah al-Fil, ditafsirkan dengan penyakit cacar atau campak (dâ’ al-judari). Contoh lainnya, perjalanan Isra Mi’raj Nabi dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha hingga naik ke Sidratul Muntaha di langit ketujuh, ditafsirkan sebagai perjalanan yang bukan dilakukan dengan jasad, tapi hanya dengan ruh Nabi dan peristiwanya pun tidak terjadi di alam nyata, tapi hanya berlaku di alam mimpi.
            Contoh lainnya, adalah pendapat yang menyatakan, kerasulan Muhammad, keimanan para sahabat kepada Nabi, dan penaklukan  wilayah non-Islam yang terjadi dalam sejarah Islam, tidak lebih hanya sekedar pemberontakan kaum kiri terhadap kaum kanan atau kaum proletar terhadap kaum borjuis, yang motif utamanya semata-mata demi meraih keuntungan ekonomi atau dalam rangka mencari rizki dan tingkat kehidupan  duniawi yang lebih sejahtera.

--------oooOOOooo--------

Tulisan ini disarikan dari materi Kajian Rutin Bulanan 
Sirah Nabi setiap ba’da Shubuh di Masjid al-Ghifari, Pakujaya Serpong Utara Kota Tangerang Selatan yang diampu
Assoc. Prof. Dr., Drs., KH. Mujar Ibnu Syarif, SH, MA.
Materi studi Sirah Nabi dimaksud disampaikan pada hari Ahad, 
28 Juni 2020. Pukul 05-07.30 pagi.